Selasa, 01 Mei 2012

PONDOK PESANTREN DAN JIWANYA

I.PENGERTIAN PONDOK PESANTREN

 Pesantren atau Pondok Pesantren berasal dari dua kata yang membentuk satu pengertian yang sama. Pondok berarti Tempat menumpang sementara, Pesantren berarti tempat para santri, sedangkan santri berarti pelajar yang menuntut ilmu agama islam. Di Jawa atau di Sunda tempat ini disebut Pondok atau Pesantren atau Pondok Pesantren. Tidak ada perbedaan yang berarti antara sebutan Pondok atau Pesantren, karena merujuk pada satu pengertian yang sama, yakni sebagai Lembaga Pendidikan Agama Islam dengan sistem asrama, dimana Kiyai sebagai pigur sentralnya, masjid sebagai pusat kegiatan yang menjiwainya. Pengajaran Agama Islam dibawah bimbingan Kiyai dan para Asatiznya sedang para santri mengikutinya. Adapun adanya sekolah atau Madrasah merupakan pengembangan dari Pondok Pesantren itu sendiri. Proses alami berdirinya pesantren telah melahirkan tata nilai yang unik, status pondok pesantren adalah kepemilikan bersama yang harus dipelihara bersama. Setiap seorang santri datang, berarti bertambah satu orang anggota yang bertanggung jawab atas keberadaan pondok itu. Amat jauh berbeda dengan sebuah hotel. Apabila seorang masuk hotel dan ia telah membayar uang sewanya, ia berhak tinggal dihotel tersebut dengan sesuka hatinya. Apabila kamarnya kotor ia memanggil pelayan untuk membersihkannya. Dengan demikian, secara ma’nawi Pondok Pesantren berbeda dengan hotel. Pesantren juga tidak sama dengan Padepokan ala Hindu, orang-orang yang belajat atau mengajar di padepokan hanya kasta-kasta tertentu, yaitu kasta brahmana dan kasta Ksatria. Di Pondok Pesantren semua orang tidak dibeda-bedakan, semua orang dapat belajar dengan mudah. Dalam kehidupan pesantren tertanam “GIROH DINIYYAH” secara otomatis mewarnai seluruh aktivitas belajar dan kehidupan para santri, sehingga membentuk kehidupan “KHAS PESANTREN” . Kehidupan pesantren yang khas itu telah terbentuk mampu menanamkan jiwa dan mentalitas yang positif kepada pribadi-pribadi para santrinya. Dalam kehidupan pesantren yang khas itulah terjalin jiwa yang kuat yang sangat menentukan Falsafat hidup para santrinya

 II. JIWA PONDOK PESANTREN

 Pada Pondok Pesantren terdapat jiwa “ KEIKHLASAN, KESEDERHANAAN, KEMANDIRIAN , UKHWAH ISLAMIYAH DAN KEBEBASAN”
 A. JIWA KEIKHLASAN Jiwa keikhlasan di Pondok Pesantren harus dipertahankan dan dikembangkan untuk dapat mewarnai kehidupan seluruh santri dan para pengurusnya. Guru-guru yang membantu Kiyai dalam mengajar dan membimbing santri bukanlah orang suruhan, mereka adalah orang-orang yang tulus ikhlas mengamalkan ilmunya. Kalaupun mereka mendapat imbalan, itu bagian dari “ALAMATUL HAYAT”, sumbangan iuran atau pembayaran yang di keluarkan oleh santri dikembalikan kepada kebutuhan mereka sndiri. Untuk itu jadikanlah keikhlasan ini sebagai jiwa pekerjaan “AL IKHLASU RUHUL AMAL”. Dengan demikian para santri secara ikhlas menerima ilmu, perintah-perintah dari Kiyai dan para guru hatta menerima hukuman sekalipun.

B. JIWA KESEDERHANAAN Sederhana tidak berarti miskin, tetapi hidup sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan. Orang yang naik becak dari bogor ke Jakarta itu bukan orang sederhana, sebaliknya orang yang memaksakan diri naik pesawat padahal ia tidak mampu, juga bukan orang yang kaya. Jiwa kesederhanaan di Pondok Pesantren harus ditanamkan kepada para santri sehari-hari. Dalam hal makan, berpakaian , tempat tinggal mereka dianjurkan untuk tidak berlebihan. Makan cukup kriteria sehat dan bergizi tidak perlu yang lezat-lezat, tempat tidur tidak perlu kasur yang empuk-empuk, begitupun berpakaian tidak perlu yang mahal-mahal , tapi cukup yang suci dan dapat menutupi aurat. Kesederhanaan juga ditanamkan dalam cara berfikir, santri dianjurkan untuk dapat sederhana, apa adanya (realistis), tidak menghayal yang bukan-bukan. Maka di Pondok Pesantren santri tidak dapat dibedakan antara anak orang kaya dan anak orang miskin, yang membedakan antara satu santri dengan yang lainnya adalah prestasi.

C. JIWA KEMANDIRIAN Jiwa kemadirian di Pondok Pesantren berjalan seiring diterapkannya sistem asrama atau sistem pondok. Di Pesantren para santri belajar hidup menolong dirinya sendiri. Tiap santri sejak awal masuk pesantren dituntut untuk dapat memikirkan sekaligus memenuhi keperluannya sendiri, dari memenuhi kebutuhan akan buku-buku , kitab-kitabnya, pakaiannya, kasur tempat tidurnya, hingga memikirkan bagimana mengatur keuangan tiap minggu dan bulannya. Dalam lingkup yang lebih luas, para santri dididik mandiri dapat mengkondisikan agar dapat secara bersama-sama mengatur kehidupan mereka sendiri dibawah bimbingan Kiyai dan para Guru. Untuk itu dibentuklah Organisasi santri yang bertujuan mendidik mereka untuk dapat mengatur dan memikirkan semua kegiatan kehidupan santri sehari-hari termasuk menegakan disiplin para santri. Pengurus organisasi santri adalah santri senioryang dipilih oleh seluruh santri, tiap tahun dilakukan pergantian pengurus dengan laporan pertanggung jawaban pengurus lama dan serah terima kepengurusan kepada pengurus baru. Dari penerapan jiwa kemandirian ini timbul pengalaman berharga bagi para santri, yaitu pengalaman memimpin dan pengalaman dipimpin. Maka lahirlah motto “BERANI MEMIMPIN DAN SIAP DIPIMPIN”. Adanya PPL dan PDL bagi kelas akhir, merupakan bagian dari pendidikan keterampilan menjadi seorang pemimpin di masyarakat luas.

D. UKHWAH ISLAMIYAH Para santri yang berdatangan dari berbagai daerah, suku, budaya, mereka tinggal bersama dalam asrama, serta saling mengenal dan berbagi pengalaman antara mereka. Selain itu upaya-upaya sistematis juga dilakukan sepanjang proses pendidikan didalam sistem pondok: Pertama, Ketika para calon santri resmi diterima sebagai santri, mereka harus meninggalkan bahasa daerahnya masing-masing dan wajib menggunakan bahasa Indonesia dalam percakapan sehari-hari mereka. Kedua, Para santri yang datang dari berbagai suku dan daerah, ditempatkan secara acak dalam beberapa kamar dan tidak ditempatkan berdasarkan kelompok atau daerah asal. Menghilangkan Fanatisme kesukuan dan kedaerahan serta menggalang rasa kebangsaan, dimaksudkan sebagai jalan menanamkan jiwa “UKHWAH ISLAMIYYAH”.

 E. JIWA KEBEBASAN Disiplin dan kebebasan dalam pesantren yang menggunakan sistem Madrasah, waktu belajar santri diatur secara ketat. Waktu tidak selonggar di Pesantren tradisional yang menggunakan sistim Sorogan, Bandungan, Wetonan. Meskipun para santri menjalankan disiplin secara ketat, mereka masih mempunyai kebebasan-kebebasan diantara lain; bebas memanfaatkan waktu libur, bebas memanfaatkan waktu-waktu luang, bebas berekspresi, bebas mengeluarkan pendapat, bebas memilih kawan, bebas memilih calon pengurus, bebas memilih calon OSIS serta bebas menentukan masa depannya sendiri. Hanya saja kebebasan para santri tetap dalam pengawasan kiyai dan para Guru. Pendidikan Demokrasi : salah satu dasar pendidikan di Pondok Pesantren adalah pendidikan demokrasai. Hal ini ditanamkan melalui keorganisasian santri, keorganisasian OSIS. Para santri yang menjadi pengurus
organisasi santri, otomatis agar mengatur sendiri kegiatannya. Pengurus organisasi santri dipilih dari dan oleh para santri. Program-program organisasi santri di musyawarahkan oleh mereka sendiri. Pondok Pesantren yang menggunakan sistem Madrasah dan dengan kuantitas, aktifitas santri yang semakin bertambah, maka kepemimpinan kiyai di didistribusikan kepada guru-guru dan santri senior (pengurus organisasi santri). Hal ini suatu keharusan dan kebutuhan guna kaderisasi. Hubungan langsung kiyai dan santri berkembang sedemikian rupa, tidak seperti di pondok Pesantren tradisional. Hubungan Kiyai dan santri nampak rasional, hubungan kiyai dan santri bukan hanya untuk urusan-urusan pengelolaan pondok dalam hubungannya distribusi wewenang tadi, tapi jauh berkembang karena kiyai bukan hanya berhubungan dengan guru dan pengurus organisasi santri tapi dengan seluruh santri, baik hubungan di kelas maupun hubungan di luar kelas. Hubungan ini a kan berlangsung sepanjang masa, kalupun si santri telah pulang kekampung halamnnya. Maka didunia Pondok Pesantren tidak ada istilah “ BEKAS GURU DAN BEKAS MURID”.
RIWAYAT HIDUP KH. MUHAMMAD ISTICHORI ABDURRAHMAN
(SYAIKHUL MASYAYIKH PP. DARUT TAFSIR)


1. Kelahiran, Silsilah dan Latar Belakang Keluarga

Terlahir dengan nama “Muhammad Istichori “ dan merupakan putra ke lima dari keenam bersaudara. Al Maghfurloh dilahirkan pada tahun 1921 di kampung Kadaung, dusun terpencil yang berjarak sekitar 40 km dari pusat Kota Bogor dan termasuk ke dalam kecamatan Lebak Wangi (sekarang kec. Cigudeg). Pada saat kanak-kanak, beliau biasa dipanggil oleh orang tuanya dengan panggilan “ Ape ” yang artinya “ Kasep “ Nama panggilan ini melekat hingga dewasa, sehingga masyarakat Bogor banyak mengenalnya dengan sebutan Kyai Ape.
Adapun silsilah keluarga beliau adalah; Garis silsilah dari pihak ayah ; KH. Muhammad Istichori bin KH. Abdurrahman bin KH. Manarah bin KH. Beran bin KH. Nurjen bin mas dalem Anggayudha bin. Pangeran Aryawinata ( Pangeran Sumedang ) dan seterusnya. Sedangkan silsilsh dari pihah Ibu adalah ; Hj. Aemi binti KH. Asyirun bin KH. Beran dan seterusnya. Dari silsilah tersebut dari pihak ayah maupun dari pihak ibu masih ada ikatan keluarga dekat, yaitu bersumber dari keturunan KH. Baran bin Mas Dalem Angga Yudha bin Pangeran Aryawinata ( Pangeran Sumedang ).
Seperti halnya Al Maghfurloh, saudara-saudara beliau pun bergarak dalam dunia Da’wah dan mereka pun merupakan tokoh masyaraka. Adapun saudara-saudara beliau adalah; Kakak; 1). Alm. Hj Suaibah, 2). Alm. KH.Kholil, 3). Alm. KH. Adra’I, 4). Alm. Hj. Zuhro, Adik Alm. KH. Muhammad Basri.
Sebagaimana nini mamaknya yang lain, ayahanda beliau pun ( Al_Maghfurloh KH. Abdurrahman )disamping mengelola pesantren ( yang merupakan peninggalan nini mamaknya dan dikelola secara turun temurun sampai dengan sekarang ) dalam menghidupi keluarganya adalah dengan bertani dan berternak ikan. Hal ini merupakan refleksi dari keinginannya untuk memiliki putra putri yang sholih dan sholihah serta keyakinannya bahwa pekerjaan yang paling halal adalah bertani. Keyakinan tersebut terbukti bahwa keluarga beliau (Al-Maghfurloh KH Aburrahman ) terutama yang laki-laki telah menjadi ulama yang menjadi teladan masyarakat.

2. Riwayat Pendidikan dan Perjuanagan

A. Riwayat Pendidikan
Al_Maghfurloh hanya mengenyam pendidikan formal sampai kelas 2 (Dua ) sekolah Rakyat, selebihnya beliau dididik oleh ayahandanya. Baru kemudian setelah usianya 11 tahun beliau di kirim ke pesantren Nurul Falah di petir serang, dan selanjutnya meneruskan ke pesantren-pesantren lain di pulau jawa.
Sebagai seorang yang haus akan ilmu pengetahuan, beliau senantiasa belajar kepada orang-orang yang ahli pada bidangnya. Hal ini tidak hanya berlangsung ketika usianya masih muda namun sampai akhir hayatnya pun senantiasa belajar atas masalah yang kurang atau yang belum di kuasainya. Kecintan beliau akan ilmu menjadikan beliau sebagai orang yang tawadhu, sehingga beliau tidak segan belajar kepada orang yang jauh lebih muda sekalipun darinya.

Adapun pesantren-pesantren tempat beliau belajar dan mukim minimal satu (1) tahun antara lain : 1). Pesantren Nurul Falah; 2).Pesantren Buntet, di Cirebon; 3). Pesantren Ternas, di Jawa Timur; 4). Pesantren Pasuruan, Jawa Timur; 5). Pesantren Gentur, di Cianjur; 6). Pesantren Gunung Kawang, Tasikmalaya; 7). Pesantren Kudang, Tasikmalaya; 8) Pesantren Cibarusah. Bekasi; 9). Pesantren Gunung Puyuh, Sukabumi; 10). Pesantren Garisul, Jasinga Bogor; 11). Pesantren Kabagusan, Tenjo Bogor. Sedangkan pesantren tempat beliau belajar dibawah satu tahun tidak terhitung jumlahnya, sebab beliau mempunyai kebiasaan jika menemukan masalah atau cabang suatu ilmu yang belum di fahaminya, beliau akan berguru kepada yang dianggapnya ahli dan tinggal selama beberapa hari atau beberapa bulan hingga beliau faham dan menguasainya.
Kecintaannya akan ilmu tergambar dari sikapnya yang sangat menghormati orang-orang alim. Hal ini terlihat dari perlakuanya yang ta’zim terhadap mereka. Sebagai ungkapan rasa cinta dan ta’zim, terhadap Guru, beliau juga memperlakukan keluarga gurunya sama seperti kepada sang Guru. Sehingga tidak sungkan mencium tangan putra (laki-laki ) gurunya saat bersalaman.

B. Riwayat Perjuangan

Perjuangan yang dilakukan oleh Al-Maghfurloh dapat dibagi kedalam 3 (tiga) priode, yaitu : 1). Masa Revolusi, 2). Setelah Merdeka, 3). Orde Baru.

1. Masa Revolusi
Seperti halnya para pemuda pad masa itu, Al-Maghfuloh pun turut andil bagian dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia, dimana pada saat itu beliau sedang menuntut ilmu dipesantren. Dikarnakan panggilan perjuangan merebut kemerdekaan memanggilnya, beliau segera bergabung dalam Laskar Hizbullah, dan ketika berusia 21 tahun beliau menjadi salah satu komandan regu di daerah Bogor barat. Aktivitasnya dalam perjuangan bersenjata menjadikan beliau sebagai orang yang dicari-carioleh Belanda, sehingga kitab-kitab pelajarannya menjadi sasaran mereka dan habis dihancurkan oleh mereka.
Disamping perjuangan dengan mengangkat senjata dalam melawan penjajah, beliau senantiasa mengadakan pertemuan-pertemuan dalam bentuk pengajian dengan sesama pejuang dan masyarakat. Hal tersebut dilakukan untuk mengelabui musuh. Adapun dari pengajian yang dilaksanakan adalah berupa :
a. Pengembangan mental para pejuang dan masyarakat
b. Mengatur taktik dan strategi bertempur
c. Rapat-rapat
d. Lain-lain

2. Setelah Merdeka
Pada masa pasca kemerdekaan ini, Al-Maghffurlah aktif membina masyarakat, baik melalui pengajian-pengajian maupun melalui organisasi, yaitu masyumi dan kemudian bergabung dengan Nahdltul Ulama.
Selain itu, pada tahun 1946 s/d 1948 akhir, beliau pernah memegang tampuk pemerintahan yaitu menjadi Camat Revolusi didaerah Lebak Wangi, yang pada waktu itu meliputi wilayah Jasinga, Parung Panjang, Cigudeg dan Tenjo dan berpusat di Desa Rengas Jajar.
Ketika terjadi genjatan senjata dengan pihak belanda dan seluruh pasukan dilebur kedalam TNI serta dikirim ke Sumbawa dan daerah lainya, beliau memilih mengundurkan diri dari pasukan perang dan lebih mengkonsentrasikan diri dalam pembinaan mental spiritual masyarakat. Untuk lebih mengefektifkan pengabdianya dalam dunia Da’wah dan pendidikan umat, serta untuk mendidik dirinya sendiri agar mampu mandiri, maka pada tahun 1952 Beliau merintis pendirian Pesantren “Nurul Falah” yang dilengkapi dengan Madrasah Ibtidaiyah di desa Sindang Pala kecamatan Semplak.
Adapun pada masa Orde Lama, beliau aktif dalam Organisasi Politik, yaitu menjadi anggota Masyumi yang kemudian mengundurkan diri dan memilih bergabung dengan Nahdlatul Ulama. Aktifitas dalam organisasi tersebut telah mewarnai pola fikir beliau. Seperti yang telah diketahui, bahwa beliau adalah orang yang sangat terbuka terhadap perbedaan pendapat. Beliau pernah mengatakan bahwa “ kemampuanya dalam bertukar fikiran (mengadu argumentasi dalam mencari), kelapangan dada dalam perbedaan pendapat, diperoleh dari didikan organisasi”.

3. Masa Orde Baru
Sebelum mengundurkan diri dari kegiatan organisasi masyarakat dan politik, Almaghfurlah KH. Istichori bersama-sama dengan KH. Zabidi (Allahuyarham) membidani kelahiran Nahdlatul Ulama Kabupaten Bogor yang pada waktu itu masih satu kesatuan pengurus dengan Kota Bogor. Disamping itu beliau merupakan salah seorang ulama yang turut serta membidani kelahiran Majlis Ulama Jawa Barat, yang kelak menjadi cikal bakal MUI.
Setelah mengundurkan diri dari kegiatan politik praktis, beliau lebih mengkonsentrasikan diri dan mengabdikan seluruh kehidupanya bagi kemajuan pendidikan umat Islam. Dimana selain mengasuh dan membina pondoknya sendiri, pada tahun 1967 sampai beberapa tahun lamanya beliau menjadi dosen di IAIN Syarif Hidayatullah Bogor, juga mengisi pengajian-pengajian rutin atau sebagai guru di pesantren, Majlis-majlis Ta’lim, masjid dan tempat lainya diberbagai daerah yang dilakukan hingga akhir hayatnya.
Kegiatan lain yang sering beliau lakukan adalah senantiasa belajar dan mempelajari ilmu agama dengan langsung mendatangi orang-orang yang dianggapnya ‘Alim. Beliau juga sering mengikuti seminar dan lokakarya baik sebagai nara sumber maupun peserta, hal ini dilakukanya dalam rangka Tafaqquh fiddin dan Da’wah Islamiyah.
Pengalaman Almaghfurlah dalam dunia organisasi dan politik praktis menjadi bekal baginya dalam membina ummat. Beliau senantiasa berusaha berada ditengah-tengah semua golongan, yaitu dengan tujuan agar ummat tidak terpecah belah oleh firqoh politik dan perbedaan mazhab. Sikap ini diimplementasikan dalam kebijakanya dalam mengelola Pondo Pesantren Darut Tafsir, sehingga Pondok Pesantren Darut Tafsir merupakan lembaga yang tidak berafliasi dengan Organisasi keagamaan dan politik manapun, atau “ La syarqiyyah wa la Ghorbiyyah”.
Setelah upaya merintis pendidikan Pesantren Nurul falah di Sindangpala Kecamatan Semplak berjalan beberapa waktu, maka pada akhir tahun 1971 dengan modal hasil penjualan sawah dan rumah peninggalan ayahanda istri beliau (Hj. Rasmani) beliau merintis kembali pendirian pesantren yang diberi nama “Darut Tafsir” di desa Gunung Batu kecamatan Ciomas, dan sekitar tiga tahun kemudian, yaitu pada tanggal 5 Mei 1974 beliau memboyong seluruh keluarga dan santrinya ke desa Cibanteng Kecamatan Ciampea. Hal ini dilakukan untuk lebih mengembangkan pesantren, karena di tempat yang lama tidak memungkinkan untuk pengembangan lebih lanjut.

3. Pandangan Hidup dan Karya Tulis

A. Pandangan Hidup
Dilihat dari apa yang menjadi pengalaman dan kebijakan Almaghfurlah dalam membina masyarakat, pola perjuanganya dalam menegakkan kalimah tauhid dan hidup keseharian serta pola fikir dan idealismenya, dapat digambarkan pandangan hidup beliau antara lain:
1. Keutamaan manusia terletak dari seberapa ia memahami ajaran Allah dan Rosul-Nya
dalam rangka mengamalkan ajaran agama secara utuh.
2. Luasnya Ilmu Allah, menuntut manusia untuk senantiasa belajar dan berusaha mengemalkanya sepanjang hidup
3. Pengabdian dalam menegakkan ajaran Islam harus selalu dilaksanakan pada setiap kesempatan, pada situasi dan kondisi yang bagaimanapun sepanjang hidup dan dilakukan dengan bijaksana (bilhikmah)
4. Untuk terbentuknya ummat yang berkualitas dan menjadi contoh umat lain, haruslah melalui pembinaan dan pendidikan yang bermutu pula.
5. Persatua dan Kesatuan ummat lebih penting diatas kepentingan golongan baik politik maupun agama.
6. Untuk melahirkan ummat yang berkualitas diperlukan pendidikan yang mampu memadukan secara harmonis antara akhlaq, ilmu agama dengan ilmu-ilmu pengetahuan lainya.

B. Karya Tulis

1. Kitab / Buku
a. Pelengkap Ilmu Tafsir
b. Ulumul Qur’an

2. Karya Ilmiah / Makalah
a. Peran akal dalam menafsirkan Alqur’an
b. Metode Pengkajian Alqur’an
c. Hikmah Puasa
d. Keutamaan pribadi para sahabat
e. Riwayat Hidup Imam Syafi’i
f. Jalan pikiran Imam Al-Ghozali

Senin, 30 April 2012

Sejarah PP. Darut Tafsir

<
IKHTISAR SEJARAH LAHIRNYA PESANTREN DARUT TAFSIR
(Ditulis Oleh Al Maghfurllah: KH. Istichori Abdurrahman)

Setelah menyelesaikan pelajaran disekolah dan pesantren diberbagai tempat, di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur bersamaan dengan berakhirnya revolusi fisik, tibalah waktunya untuk mengisi kemerdekaan. Maka pada tahun 1952, saya mendirikan pesantren yang dilengkapi dengan sekolah Ibtidaiyah, bertempat di Sindangpala Semplak Bogor.
Kekurangan-kekurangan setelah kemerdekaan sangat terasa. Pesantren yang telah ada tidak memenuhi kebutuhan suatu bangsa yang sedang membangun. Keadaan ini menimbulkan berbagai upaya dari tokoh-tokoh Pesantren. Lahirnya Perguruan-perguruan Tinggi adalah natijah dari pada usaha ini. Banyak pesantren yang masih belum melihat kenyataan. Mereka masih mengikuti cara lama. Usaha modernisasi sekalipun lambat, tapi masih berjalan terus. Kesulitan-kesulitanya datang dari pesantren itu sendiri. Kalau dilihat dari sejarahnya, logis. Sebab pada umumnya pesantren-pesantren di Jawa Barat hanya mengutamakan pelajaran-pelajaran Ilmu Fiqih saja, tapi jarang yang sampai mempelajari ilmu perbandinganya.
Ilmu-ilmu yang penting seperti: Sejarah Umum, sejarah Islam, tidaklah masuk dalam pelajaran pesantren, padahal ilmu itu sangat dianjurkan oleh Alqur’an. Sedang kan pelajaran Tafsir Alqur’an kebanyakan hanya terbatas kepada ayat ahkam saja. Itupun masih sangat sederhana. Sedangkan ayat yang mengenai ilmu Pengetahuan Umum tidak disentuhnya. Kesemuanya itu mengakibatkan:
a. Sempit dalam berfikir
b. Menganggap Pengetahuan Umum itu bertentangan dengan Alqur’an
c. Perbedaan dalam Fiqih, sering menjadikanya pertentangan
Maka jika timbul kelompok-kelompok ummat, atau terdapat jurang yang dalam antar Ulama dan Intelektual adalah logis sekali. Keadaan ini wajib dirubah.
CARA MERUBAHNYA
Banyaknya usaha-usaha yang telah dilakukan, baik oleh para ulama maupun pemerintah. Dan sayasebagai seorang Muslim, tidak terlepas dari kewajibanitu menurut kadar kemampuan saya. Saya berkeyakinan adanya anggapan bahwa Pengetahuan Umum itu bertentangan dengan Alqur’an, sempit dalam berfikir, sering pertentangan dalam furu, kesemuanya itu timbul dari pendidikan yang kurang sempurna.
Pendidikan Agama yang azasnya “akhlaq”, tidaklah sempurna bila masih mengabaikan Alqur’an. Alqur’an adalah petunjuk bagi segenap manusia. Alqur’an menunjukkan jalan yang lurus untuk mencapai kebahagiaan Dunia dan Akherat. Untuk itu Alqur’an mengharuskan manusia supaya berilmu dan beriman.
Banyak ayat-ayat Alqur’an yang mendorong agar manusia mempelajari :
a. Ilmu Bahasa g. Ilmu Filsafat
b. Ilmu falak h. Ilmu Kedokteran
c. Ilmu Jiwa i. Ilmu Kemasyarakatan
d. Ilmu Hayat j. Ilmu Teknik
e. Ilmu Pendidikan k. Ilmu Perdagangan
f. Ilmu Pertanian l. Ilmu Sejarah, dll
Fiqih sendiri telah menetapkan bahwa: Ilmu itu ada yang fardu dan yang Fardhu Kifayah, yang fardhu kifayah itu antara lain:
1. Ilmu Kedokteran 4. Ilmu Bahasa
2. Ilmu Pertanian 5. Ilmu Tafsir, dll
3. Ilmu Teknik
Alqur’an yang berisikan 6666 ayat, hanya 500 ayat sajalah yang mengenai hokum-huku Syariat. Sedangkan yang lainya mengenai ilmu-ilmu tersebut diatas. Maka oleh karena itu bila Alqur’an dipelajari secara khusus, sudah pasti akan membuahkan:
a. Dinamis dalam berfikir
b. Toleran terhadap orang yang tidak sepaham dalam masalah furu
c. Akan menjadi pendorong dalam segala kemajuan
TRADISI PESANTREN
Pesantren yang telah hidup berabad-abad lamanya di Persada Ibu Pertiwi mempunyai tradisinya sendiri. Pendidikan dan Pengajaran tidak mempunyai batas waktu. Kyai sebagai gurunya senantiasa berada ditengah-tengah santrinya. Hubungan kyai dengan santrinya sangat erat sekali, bagaikan keluarganya sendiri. Para santri bukan saja menerima pelajaran-pelajaran dari kyainya, tapi juga mengikuti segala jejak langkahnya, dan disinlah terletak ruh pesantren.
Santri-santri yang telah berpindah tempat, atau telah kembali ke kampungya atau menjadi orang yang lebih alim atau menjadi pembesar, tidaklah putus hubungan dengan kyainya itu.
Tradisi diatas menimbulkan hal-hal yang baik, tapi juga menimbulkan hal-hal yang buruk, seperti timbulnya guruisme dan disebut juga menurut istilah di Jawa Timur “guru kulo”, sehingga si santri tidak dapat menerima pendapat orang lain, jika pendapat itu bertentangan dengan gurunya.
BERDIRINYA PESANTREN DARUT TAFSIR
Pada tahun 1967 berdirilah IAIN Syarif Hidayatullah Bogor. Sebagai dekanya, Bapak Kyai H. ZABIDI bekas Duta Besar Indonesia di Saudi Arabia. Saya diminta untuk membantu beliau dan saya diangkat menjadi Dosen Luar Biasa dalam mata kuliah Ilmu Tafsir. Saya merasa yakin bahwa IAIN inilah yang dapat menyempurnakan Pendidikan Islam dan sekaligus menutupi kekurangan-kekurangan pesantren. Setelah beberapa lamanya saya memberikan kuliah, ternyata IAIN yang semula saya harapkan bias menyempurnakan kekurangan-kekurangan pendidikan dan Pengajaran di Pesantren tidak memenuhi harapan saya karena IAIN pun mempunyai kekurangan-kekurangan, yang umumnya para mahasiswanyalebih menguasai Pengetahuan Umum dari pada Pengetahuan Agama. Mereka banyak yang tidak sanggup menghirup Ilmu Agama langsung dari buku sumbernya. Hal ini membuat hati saya kecewa kecewa. Maka timbul yang kuat hendak mendirikan sebuah pesantren yang dapat menyempurnakan pesantren dan kekurangan-kekurangan Pendidikan Islam di sekolah-sekolah.
Maka pada akhir tahun 1971 didirikanlah Pesantren “DARUT TAFSIR” di Gunung Batu Bogor, dimana Ilmu Tafsir menjadi pelajaran pokoknya.
Untuk dapat mendalami Tafsir Alqur’an, diperlukan ilmu Pokok dan Ilmu Bantu. Ilmu Pokok seperti Ilmu Bahasa Arab dan ilmu Bantu ialah pengetahuan Umum. Untuk mencapai kedua macam ilmu itu diperlukan adanya sekolah-sekolah. Dan pesantren Darut Tafsir telah memiliki dua buah sekolah, Tsanawiyah dan Aliyah, yang kurikulumnya mempergunakan kurikulum Pemerintah.
HUBUNGAN PELAJARAN PESANTREN DAN SEKOLAH
Pelajaran-pelajaran Pesantren dan Sekolah sifatnya saling membantu kesulitan Pesantren dalam melaksanakan pelajaran tafsir sesama fak terbentur kepada:
a. Belum adanya kurikulum Pesantren. Sedangkan Kurikulum Fakultas jurusan Ilmu Tafsir tidak
dapat diterapkan dalam pesantren
b. Belum adanya buku-buku Tafsir yang sistematik
Maka untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut, telah ditulis dua buah buku :
1. PELENGKAP TAFSIR
2. AHKAMUL QUR’AN
KEPINDAHAN PESANTREN “ DARUT TAFSIR “
Pada tanggal 5 Mei 1974 pesantren Darut Tafsir berpindah tempat dari Gunung Batu Kecamatan Ciomas ke Cibanteng Kecamatan Ciampea. Dengan keyakinan ditempat yang baru itu akan lebih berkembang.